Tuesday, February 4, 2020

Apa Salahnya Terlahir Miskin?

Apa Salahnya Terlahir Miskin?

Apa Salahnya Terlahir Miskin?

Untuk pertama kalinya, pagi tadi saya mendapatkan pertanyaan melalui dari salah satu akun media sosial saya dari seorang teman lama yang tentu tidak perlu disebutkan namanya disini. Pertanyaan yang diajukannya menyangkut "Aib" dari keluarga saya, yakni:

"Selamat pagi mbok Dayu. Saya termasuk salah seorang 'Silent Reader' di akun-akun medsos mbok Dayu. Kagum membaca kisah hidup tentang perjalanan mbok Dayu yang pernah ke Perancis, Jerman, Belgia, Yunani bahkan sampai ke China. Kalau saya baru sebatas ke Kuala Lumpur dan Singapore. Tapi ada hal yang ingin saya tanyakan. 

Mohon maaf, ini menyangkut tentang keluarga mbok Dayu. Saya dapat kabar dari teman dan kolega saya yang berasal dari Jembrana, Bali, bahwa ternyata Ajik (Ayah) mbok Dayu adalah seorang Supir Truk? Saya tidak dapat membayangkan, seandainya hal ini benar dan terungkap di medsos dan grup-grup WA bagaimana perasaan mbok Dayu?"

Miskin Bukanlah Sebuah Kehinaan

Agak lama saya terdiam. Bukan karena malu, tapi untuk apa mengorek-ngorek tentang kehidupan pribadi seseorang? Tapi akhirnya saya jawab juga: "Benar Bli, saya terlahir dalam keluarga miskin. Ajik (Ayah) saya memang dulu adalah Kuli Bangunan dan kemudian menjadi 'Supir Truk Ekspedisi' selama bertahun-tahun untuk membesarkan saya dan keluarga. Tidak masalah semua orang tahu. Saya tidak malu, malahan bangga bahwa sebagai Supir Truk, Ajik saya membesarkan saya ... Terima kasih".

Sesungguhnya saya sama sekali tidak malu, orang mengetahui bahwa ternyata saya bukanlah orang kaya bahkan hanya anak seorang Supir Truk. Yang menimbulkan rasa tidak nyaman adalah mengapa kehidupan Ajik saya di korek-korek dan sebegitunya ingin tahu riwayat keluarga saya?

Karena itu saya merasa perlu untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan agar semua orang tahu bahwa saya memang benar anak seorang Kuli Bangunan dan kemudian alih profesi menjadi Supir Truk di kota Jembrana, Bali. Hampir semua orang, tetangga, kenalan dan teman-teman saya tahu persis riwayat keluarga saya.
Bahkan orang-orang, tetangga, kenalan, dan teman-teman saya yang mengenal keluarga saya juga tahu bahwa Memek (Ibu) saya pernah bekerja sebagai 'Penjual Canang', di salah satu pasar di Jembrana, Bali. Pernah juga kerja serabutan bertahun-tahun menjadi tukang cuci, jualan gorengan dan tukang urut. 

Bagi orang Bali, telur ayam menetas saja seisi kampung akan tahu. Apalagi yang menyangkut kehidupan pribadi keluarga saya.

Bagi saya pribadi: "Lahir sebagai orang miskin bukan sebuah kehinaan. Yang hina itu adalah hidup memperkaya diri dengan merampok apa yang seharusnya menjadi hak hidup orang lain".

No comments:

Post a Comment